Pembahasan UU ITE
I.
Pengertian
Self
control or state control? You Decide” adalah salah satu judul buku yang diedit
oleh Tom Palmer, Atlas
Network’s Executive Vice President for International Programs. Salah
satu topik yang dibahas dalam buku ini adalah tentang hubungan antara kebebasan
dan tanggung jawab (freedom and responsibility).
Menurut Tom Palmer, prinsip kebebasan dan tanggung
jawab merupakan prinsip dimana kita menyadari harkat dan martabat sebagai
manusia untuk hidup bersama secara damai dan harmonis dengan orang lain.
Artinya, kebebasan dan tanggung jawab seharusnya lahir karena kesadaran manusia
untuk mengendalikan dirinya (self control) dalam rangka menjaga
kedamaian dan keharmonisan hidup. Jika kita dihadapkan pada state control
atau kontrol dari negara, melalui undang-undang misalnya, yang lahir bukanlah
kesadaran yang muncul dari diri kita sendiri, melainkan rasa taat, tunduk dan
takut.
Hal ini sedikit banyak dapat kita kaitkan dengan
keberadaan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE). Keberadaan UU ITE selama ini tidak disepakati oleh seluruh
publik karena dipandang membatasi kebebasan berekspresi. Beberapa ketentuan UU
ITE, khususnya Pasal 27 ayat (3) yang mengatur tentang penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik, sering dianggap sebagai penyebab orang memilih bungkam
atau “self censorship” atas kondisi sosial politik yang ada di masyarakat.
Kondisi demikian menunjukkan bahwa keberadaan UU
ITE tidak serta-merta membuat masyarakat sadar akan kebebasan dan tanggung
jawab. Keberadaan UU ini membuat masyarakat menjadi takut untuk bersuara
mengenai ketidakadilan di sekelilingnya dan berteriak terhadap pelanggaran yang
dilakukan penguasa karena khawatir dianggap penghinaan atau pencemaran nama
baik.
II.
Revisi Terbaru UU ITE
Seperti
yang sudah diberitakan bahwa UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik) akan direvisi dengan sedikit penambahan dan pembaharuan dari UU ITE
yang sudah diterapkan selama ini.
Dan akhirnya,
sesuai dengan perjanjian dan persetujuan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
kemarin pada 27 Oktober 2016 bahwa tepat hari ini 28 November 2016, UU ITE yang
telah direvisi tersebut sudah mulai diterapkan hari ini.
Beberapa poin
revisi UU ITE tersebut cukup kontroversial, ada yang pro dan kontra mengenai
pembaharuan yang telah dilakukan, dan berikut adalah ke-empat dari poin UU ITE
yang telah direvisi tersebut:
1.
The Right to be forgotten
Sama seperti di eroopa dan argentina yang lebih dulu menerapkan uu
ini di negaranya. Dimana adanya penambahan pada Pasal 26 mengenai hak untuk
dilupakan.
Hak ini semacam,
hak yang diberikan oleh pemerintah kepada individu atau pihak yang ingin
mengajukan sebuah penghapusan berita atau informasi yang masih di ungkit atau
diungkit kembali pasca masalah atau topic yang diungkit telah terjadi dan
selesai perkaranya.
2.
UU Penyebaran Informasi Terlarang
Akhirnya, UU penyebaran informasi telarang ini ditambahkan pada
Pasal 40dalam UU ITE.
Pasal ini mengenai hak penghapusan sepihak oleh pemerintah terhadap pihak yang terbukti menyebarkan sebuah informasi yang melanggar undang-undang dalam negeri, seperti SARA, terorisme, pornografi dan sebagainya.
Pasal ini mengenai hak penghapusan sepihak oleh pemerintah terhadap pihak yang terbukti menyebarkan sebuah informasi yang melanggar undang-undang dalam negeri, seperti SARA, terorisme, pornografi dan sebagainya.
Jadi, buat Anda
yang masih sering melakukan sara termasuk penghinaan atau hal-hal lain yang
termasuk dalam Pasal 40 ini, maka hati-hati aja boy, bisa-bisa kena ciduk
seperti kasus bu yani kemarin.
3.
Dokumen Bukti Hukum
UU ITE dalam Pasal 5 ini, mengenai dokumen atau syarat
bukti hukum yang sah untuk digunakan dipengadilan.
Jadi MK telah mengeluarkan Undang-undang mengenai sah tidaknya
sebuah dokumen atau barang bukti yang digunakan dalam proses hukum pengadilan
yang diambil atau direkam oleh pihak terkait dengan proses penyadapan
dan intersepsi tanpa seizin pengadilan untuk disahkan.
4.
Pemotongan Masa Hukuman
Poin satu ini yang paling tidak setuju bagi ofamni,
karena Pasal yang termasuk dalam Pasal 21 KUHAP ini menyangkut pengurangan masa
hukuman bagi pelanggar UU ITE. Dimana masa hukuman sebelumnya dari ancaman
paling lama 6 tahun, kini menjadi maksimal 4 tahun. Selain itu denda uang yang
awalnya maksimal 1 milyar, kini menjadi maksimal 750 juta.
Ada satu lagi pasa kekerasan dalam Pasal 29, yang sebelumnya paling
lama 12 tahun, kini menjadi maksimal 4 tahun dan denda yang awalnya 2 milyar
kini menjadi 750 juta.
Entah, mengapa hal ini terjadi. Ofamni tidak mau tahu, tapi mau
tempe.
Selebihnya Anda bisa baca lebih rinci dengan mengunduh file UU
ITE berikut ini:
III.
Kretik Terhadap UU ITE
Meskipun sudah dilakukan perubahan, UU ITE
tampaknya masih mengundang kritik terutama berkaitan dengan pasal penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE.
Secara umum, baik sebelum direvisi maupun setelah direvisi, Pasal 27 ayat (3)
UU ITE tetap dinilai oleh banyak pihak membatasi kebebasan berpendapat atau
berekspresi. Dengan kata lain pasal tersebut dianggap bertentangan dengan hakekat
kebebasan berpendapat yang dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945.
Alasan lain masyarakat mengkritik UU ITE ini adalah
karena sifatnya yang dinilai multitafsir. Sejak diundangkan pada tahun 2008, UU
ITE sudah beberapa kali memakan korban. Menurut catatan Lembaga Southeast Asia
Freedom of Expression Network (SafeNet), sejak tahun 2008 hingga November 2015,
ada 118 netizen yang menjadi korban UU ITE. Di tahun 2015, Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat (ELSAM) juga mencatat ada sekitar 47 korban yang terjerat
UU ITE.
Menurut Fiona Suwana, Kandidat doktor dari
Queensland University of Technology (QUT), dalam sejumlah kasus beberapa orang
terkena jeratan pasal penginaan dan/atau pencemaran nama baik hanya karena
mengeluh terhadap kondisi yang dialaminya di media sosial. Bahkan ada
masyarakat yang tetap terkena jeratan pasal ini walaupun tidak menyebutkan sama
sekali nama yang dikeluhkan seperti dalam kasus pencemaran nama baik oleh warga
bernama Yusniar di Makassar.
Selain itu, menurut Emir Chairullah, Koordinator
Mahasiswa Pascasarjana Indonesia yang tergabung dalam Indonesian Scholars
Queensland Australia, hal yang membuat ironis adalah dalam praktik pasal
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dalam UU ITE seringkali hanya
dikenakan kepada masyarakat awam yang strata ekonomi politiknya berada di
bawah. Sementara ketentuan tersebut menjadi tumpul ketika pihak penguasa yang
menghina masyarakat yang kelasnya lebih rendah. Seperti misalnya dalam kasus
Prita Mulya Sari pada tahun 2009 yang dituntut dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE
karena mengkritik pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional.
SUMBER :
https://news.detik.com/berita/d-3356235/ini-7-poin-utama-revisi-uu-ite-yang-mulai-diberlakukan-hari-ini
https://suarakebebasan.org/id/opini/item/763-kebebasan-berekspresi-di-bawah-bayang-rezim-uu-ite
elsam.or.id
mediaindonesia.com
Komentar
Posting Komentar